Persyaratan Beasiswa Djarum 2009/2010

Persyaratan menjadi penerima Beasiswa Djarum

1. UMUM :
* Pria atau wanita.
* Sedang menempuh Tingkat Pendidikan S1 (Strata 1).
* Prestasi Akademik dengan IPK diatas 3.00, telah menyelesaikan 4 semester (kondisi keuangan keluarga menjadi salah satu pertimbangan).
* Aktif mengikuti kegiatan-kegiatan organisasi di Kampus.
* Tidak sedang menerima beasiswa dari pihak lain.
2. ADMINISTRASI :
* Mahasiswa mengajukan surat permohonan beasiswa kepada perguruan tinggi melalui Direktur Administrasi Kemahasiswaan atau Pembantu Rektor III .
* Fotocopy IPK terakhir.
* Fotocopy Kartu Hasil Study Semester 4 (empat).
* Fotocopy sertifikat kegiatan organisasi/surat keterangan aktif berorganisasi.
* Surat keterangan dari kampus tidak sedang menerima beasiswa dari pihak lain.
* Fotocopy KTP.
* Fotocopy surat keterangan tidak mampu dari Lurah/Camat.
* Satu lembar foto ukuran 4 x 6 cm berwarna memakai jas almamater.
3. TES SELEKSI :
* Mengikuti psikotes.
* Wawancara.
* Membuat tulisan singkat.


Baca selengkapnya ...

Program Beasiswa Djarum

1.Beasiswa Djarum diberikan selama 2 (dua) semester berurutan atau 1 (satu) tahun.
2.Besarnya dana beasiswa Djarum pada tahun ajaran 2008/2009 sebesar Rp. 500.000,-(lima ratus ribu rupiah) per bulan. Di tahun ajaran 2009/2010 meningkat menjadi Rp. 600.000,-(enam ratus ribu rupiah) per bulan selama 1 (satu) tahun.
3.Menerima pelatihan soft skills seperti : outbound, leadership training, practical skills dan entrepreneurship.

http://www.beswandjarum.com/getcontent.php?page=beswandjarum&id=18&number=6

Baca selengkapnya ...

Kebangkitan Pers Versus Globalisasi

SERATUS tahun kebangkitan nasional mendorong para awak pers dan awam di negeri ini bertanya: ”Apakah pers Indonesia mengalami kebangkitan?” Kalau ya, kebangkitan dari apa? Jika tidak, model status quo yang bagaimana yang akan dan harus dialami ”dunia media massa” di Nusantara ini?

Terlepas dari keberpihakan pada kedua pertanyaan mendasar di atas, saya berkeyakinan, pers nasional kita mengalami kebangkitan, setelah 100 tahun kebangkitan nasional.

Kebangkitan dimaksud bermuara dari kesadaran, bahwa negara dan bangsa Indonesia tak akan mungkin dapat terlepas dari pengaruh globalisasi. Beberapa pengaruh globalisasi yang negatif sifatnya bagi pers nasional adalah kapitalisme dan euphoria publik di berbagai negeri ini, terutama euphoria politik.

Sebagai produk manusia, pers tidak pernah bersifat sempurna. Namun terpaan-terpaan globalisasi, kapitalisme, dan eforia politik di negeri ini berhasil mewujudkan kesenjangan komunikasi (communication gap) antara pengelola lembaga media dan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders).

Salah satu akibatnya adalah labilnya kejiwaan publik, yang menjadi makin parah (diperparah) oleh persaingan media massa yang sedemikian ketat di negeri ini.
Akibat dari semua itu adalah hilangnya, atau minimal berkurang, nikmat kemerdekaan pers oleh berbagai pemangku kepentingannya.

Freedom of the press seolah mustahil dapat dirasakan bersama oleh seluruh pemangku kepentingan media massa. Apalagi dalam mindset yang sama, antara pemilik modal lembaga media dan pengelola pers di satu sisi, serta publik media (konsumen pers) di sisi lain, baik masyarakat biasa maupun unsur pemerintah.

Di sinilah mutlak pentingnya kebangkitan pers Indonesia di masa sekarang, dilandasi semangat untuk membangun human dignity (kemuliaan manusia). Mustahil sebuah lembaga media massa dapat tetap eksis di tengah komunitasnya yang kecil, sedang, atau besar, jika produk pengelolaannya tidak benar-benar dapat diterima masyarakat.

Ini dimungkinkan, jika para pemangku kepentingan pers nasional gampang dipengaruhi secara negatip oleh berita-berita dunia (arus globalisasi) ketimbang berita nasionalnya yang lebih berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat nasional atau lokal.

Karenanya, model akseptasi publik sebagai prasyarat awal akuntabilitas media massa itu perlu senantiasa diprioritaskan seluruh pemilik modal dan pengelola lembaga pers, ke dalam atau di dalam kerangka kepentingan nasional serta lokalnya sendiri, melebihi pengaruh globalisasi. Ini antara lain karena pers merupakan produk teknologi dilandasi nilai-nilai kemanusiaan berskala komunitas mikro dan meso, ketimbang yang terlampau makro (global).

Tidak Seragam

Untuk itu, pers tidak boleh selalu tampil seragam, dalam arti ordinary (tidak ada kelainan) atas model-model kebiasaan di lingkungannya. Antara lain budaya, tradisi, sikap, dan lain-lain, khususnya yang berlaku di berbagai segmen publik yang dilayaninya.

Sebaliknya, pers memang selalu perlu tampil dalam penyesuaiannya dengan pasang surut perubahan sosial di lingkungannya. Ini disebabkan social change itu sendiri pada hakikatnya adalah produk manusia.

Karena itu, pers harus tampil di atas landasan hati nurani. Pengelolaan yang mengesampingkan peran hati nurani dapat dengan mudah menyingkirkan fungsi pemenuhan rasa ingin tahu manusia.

Padahal pemenuhan tuntutan manusia yang satu itu, terutama di abad modern, hampir bisa dipastikan sangat bergantung kepada ”penguasa informasi publik”. Pihak disebut terakhir, (umumnya) berada di kutub kebudayaan lain, jauh dari inti ajaran serta nilai-nilai kebaikan, yang diwariskan leluhur budaya kita, di Indonesia.

Segenap pengelola lembaga media massa di negeri ini tak seharusnya menepis perlunya landasan hati nurani dalam setiap produk pers. Tuntutan itu wajar, bahkan mutlak dipenuhi, karena kinerja pers terbangun di atas landasan pragmatis, bukan sekadar landasan teori.

Konsekuensinya, sajian pers tidak boleh berandai-andai. Sajian pers harus bersifat konkret, meski nilai-nilai pragmatisme konkret itu sendiri bukan mustahil dapat menimbulkan risiko sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, dan berbagai bentuk keresahan sosial.

Tetapi pers tak boleh bersikap acuh terhadap semua itu. Pers bukannya tidak bertanggung jawab atas instabilitas sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, keamanan, ketertiban umum, dan lain-lain di lingkungannya. Namun tanggung jawab sosial pers itu sendiri menjadi haram hukumnya, jika kepedulian media dimaksud dapat mengakibatkan instabilitas profesi jurnalistik.

Hati Nurani

Ini berarti, tanggung jawab sosial (social reponsibility of the press) yang mutlak ditegakkan oleh setiap pengelola lembaga media di Indonesia, tidak seyogyanya menutup akses dinamika profesi dan fungsi pers, khususnya di era kebangkitan pers nasional dewasa ini.

Apa dan bagaimana pun intensitas dan ekstensitas tuntutan pertanggungjawaban pers di satu sisi, dan maraknya tuntutan kemerdekaan pers di sisi lain, keduanya sama-sama tidak boleh meniadakan kinerja pers berhati nurani. Yaitu pers yang dibangun di atas landasan pengabdian kemanusiaan, dalam setiap bentuk sajian media massa.

Salah satu konsekuensi kinerja pers berhati nurani adalah sajian media massa harus selalu lebih didasarkan atas pemenuhan kepentingan publik yang dilayaninya, ketimbang berkiblat semata-mata kepada kepentingan ekonomis / komersial / finansial, politik, dan kekuasaan, khususnya dari pemilik modal atau pengelola lembaga media di dapur redaksi / perusahaan / stasiun siaran.

Sebab di saat kiblat pers adalah kepentingan internal (disebut terakhir), maka risiko mengesampingkan kepentingan publik media (selaku konsumen pres) tidak dapat dihindarkan. Pada saat yang sama, akses konflik pers dan publiknya pun tergelar nyata.

Tantangan hakiki dan substansi pers tak boleh dibiarkan berlanjut jika lembaga media massa benar-benar bertekad membangun kinerja berbasis dukungan publik lewat pengejawantahan manajemen berorientasi pemenuhan kepentingan konsumen.

Untuk itu, pemilik modal dan pengelola lembaga media massa mestinya menyadari betapa mutlak perwujudan pers hati nurani yang diawali dengan pembangunan pers berkiblat konsumen (pers prosumen).

Kebangkitan pers Indonesia perlu diawali dengan tekad untuk senantiasa mendahulukan kepentingan publik yang dilayani. Bukan mendahulukan kepentingan ideal, ekonomis / komersial / finansial atau lainnya, baik pada kubu pemilik modal maupun kubu pengelola lembaga media yang bersangkutan.

Meski berkiblat pada kepentingan konsumen, bukan berarti pers tidak berarti boleh mengorbankan kepentingan ideal dan komersial pihak pemilik modal dan pekerja lembaga media massa, terutama dalam posisi, fungsi dan peran selaku produsen informasi.

Tanpa kontribusi produsen informasi, sulit diharap akan tersajinya hidangan informasi di tengah diskursus publik. Ini berarti, pers boleh saja berupaya menggaet sebesar-besarnya keuntungan material atau kepentingan lain, sejauh tak mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan dan kepentingan publik media, khususnya akurasi, faktualitas, dan objektivitas.

Konsekuensi kebangkitan pers nasional merefleksikan tekad awak pers dan masyarakat konsumen pers untuk memprioritaskan pers ideal, sekaligus pers bermoral. Pers ideal dan bermoral (pers berhati nurani) memparadigmakan kepentingan orang-orang tertindas.

Tapi paradigma pembelaan orang tertindas yang dilakukan pers ialah pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan tanpa rekayasa. Artinya pers membela kepentingan orang tertindas yang betul-betul tertindas.

Kebangkitan pers Indonesia setelah 100 tahun kebangkitan nasional membawa konsekuensi agar senantiasa memprioritaskan pembelaan terhadap orang tertindas, sejauh mereka tidak melakukan penganiayaan terhadap norma agama, hukum, nilai kearifan komunitas, apalagi melanggar serta merampas hak asasi manusia. Itu berarti pembelaan pers berhati nurani terhadap kepentingan orang tertindas, tidak boleh dikaitkan di luar konteks nilai-nilai kemanusiaan yang mendasarinya. (32)

–– Novel Ali, staf pengajar pada Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip.
* Oleh Novel Ali

Baca selengkapnya ...